Judul : Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik
link : Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik
Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik
Perselingkuhan Reformasi (Mei 1998 - Mei 2016)
Jika mencatat dalam selang waktu 18 tahun dari bergulirnya reformasi, maka kita akan melihat banyak pengkhianatan konsensus yang telah diperjuangkan selama ini. Paling tidak, ada enam tuntutan utama yang bergulir pada reformasi 1998. Pertama, penegakan supremasi hukum; kedua, pemberantasan KKN; ketiga, mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen konstitusi; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI; dan yang keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Tentu, apa yang dituntut dan diperjuangkan pada reformasi adalah harapan dari lentik jari-jemari rakyat yang terzalimi oleh rezim ototriter. Tuntutan ini adalah sikap reaktif memanfaatkan momentum, luapan emosi yang sudah lama terpendam. Namun apakah dulu emosi yang keluar sudah tepat sasaran dan tidak membabi buta atau tidak ditunggangi? Atau reformasi adalah buah dari emosional dan bukan lahir dari pemikiran matang?
Berselang 18 tahun, lima dari enam tuntutan reformasi yang digulirkan secara sistem dan prosedural sebetulnya sudah dan sedang dilaksanakan. Sebut saja, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), otonomi daerah, dicabutnya dwifungsi ABRI, supremasi hukum, dan amandemen konstitusi. Hanya minus mengadili mantan Presiden Soeharto yang tidak terwujud.
Sejatinya, cita-cita reformasi adalah cita-cita untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan sejahtera. Jika secara prosedural reformasi sudahlah terpenuhi, maka secara substantif, reformasi belum memenuhi dahaga rakyat akan keadilan dan kesejahteraan.
Terlalu banyak orang yang bermain serong, berselingkuh di balik bilik demokrasi yang lahir dari bibit reformasi. Kita selama ini sibuk mereformasi sistem pemerintahan, sementara kita tidak pernah mereformasi kultur dalam menjalankan roda pemerintahan. Inilah perselingkuhan.
Sistem boleh berubah, tapi kenyataannya secara praktis, perilaku, kebiasaan, tradisi, atau cara-cara lama yang digunakan pada era orde baru (orba) masih tetap dilestarikan hingga sekarang. Tentu tidak heran korupsi yang pada era orba terjadi justru masih subur terawat, bahkan semakin berkembang atau bahkan lebih dahsyat dari era sebelumnya. Jika dulu praktik korupsi tersembunyi di bawah meja, maka bisa jadi di era ini korupsi dapat dilakukan di atas meja.
Perselingkuhan reformasi ini akan menjadi bola salju yang tinggal menunggu waktu berbenturan dengan momentumnya saja. Paling bahaya, benturan ini akan melahirkan ketidakpercayaan terhadap eksekutif, legislatif dan yudikatif. Khususnya legislatif yang diisi oleh partai politik sebagai instansi demokrasi.
Misalnya kita ambil salah satu kasus cara-cara lama yang masih terawat hingga saat ini, yaitu money politic. Secara motif dan dampak tentu kita akan berasumsi menjadi beberapa kemungkinan:
1. Partai politik sudah tidak mampu menjadi lembaga yang dianggap bermanfaat bagi publik;
2. Partai politik gagal mendidik kadernya menjadi publik yang bermanfaat dan berpengaruh di lingkungannya;
3. Partai politik gagal melakukan empowerment kepada masyarakat dalam pendidikan politik;
4. Yang paling bahaya adalah, hilangnya kepercayaan publik kepada partai politik karena partai politik melahirkan banyak politisi bermasalah.
Maka banyak cara agar kita rujuk kembali pada khittah reformasi. Salah satunya adalah dengan meninggalkan cara-cara lama yang busuk. Demokrasi yang bersih, anti money politic, anti suap, mereformasi pengkaderan partai politik, serta demokratisasi di seluruh instansi pemerintahan menuju pemerintahan yang terbuka dan berintegritas.
Guna mewujudkan reformasi bukan prosedural semata sementara kita berselingkuh secara kultural (perilaku tetap busuk), maka perlu kesadaran puritan para generasi penerus bangsa agar cara-cara lama busuk menjadi usang dan ditinggalkan. Semoga demokratisasi, keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud!
Harry Hardiyana
Kepala Kebijakan Publik KAMMI Purwokerto [okz]
Demikianlah Artikel Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik
Sekianlah artikel Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik dengan alamat link https://insideoftechno.blogspot.com/2016/05/perselingkuhan-reformasi-melahirkan.html
0 Response to "Perselingkuhan Reformasi, Melahirkan Ketidakpercayaan terhadap Partai Politik"
Posting Komentar